Monday, March 7, 2011

We Are the Perfect Couple, We Are Just Not In the Perfect Situation.


Nama saya Anissa.
Usia saya 19 tahun, September ini saya akan berusia 20 tahun.
Saya adalah calon istri dari seorang penerbang.
Dan berikut perasaan sa
ya selama ini.

Saya bahagia, melihat calon suami bisa bersekolah di salah satu sekolah swasta khusus untuk penerbang di Bali. Tapi yang saya sedihkan, sekolahnya berada di suatu tempat yang jauh dari keramaian, bukan di Denpasar, namun di sebuah desa diujung pulau Bali. Dimana sinyal kadang bagus kadang tidak dan tidak ada tempat rekreasi yang begitu menarik untuk didatangi kecuali Pulau Menjangan.

Kegiatan calon suami saya dari pagi hingga sore adalah belajar seputar kegiatan penerbangan, dimulai pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore dari hari Senin hingga hari Sabtu. Fasilitas yang diberikan terbilang cukup mewah, ada kolam renan, asrama yang nyaman, lapangan basket dan bola, indoor maupun outdoor, cafetaria dan lain-lain. Bisa dibilang hidup disana cukup menyenangkan bagi dia, tapi tidak bagi saya.

Saya tidak berada di Bali, namun di Jakarta. Kami sudah sekitar 10 bulan pacaran, 3 bulan diantaranya kami menjalani hubungan jarak jauh. Tapi kami belum bisa menyesuaikan perbedaan waktu dimana waktu di Bali satu jam lebih cepat dari Jakarta. Dan kadang susah untuk mengetahui keadaan masing-masing karena sinyal disana bisa dibilang tidak stabil.

Kamis, 3 Maret 2011, calon suami saya pulang ke Jakarta. Walaupun cuma 4 hari di Jakarta, ia bersedia pulang untuk saya dan karena ia kangen dengan keadaan Jakarta. Ia juga kangen dengan keluarga dan teman-teman pastinya.

4 hari di Jakarta, bagi saya, tentu tidak cukup untuk melepas kangen. Dan entah kenapa kami juga banyak bertengkar, dikarenakan kami sama-sama ingin diprioritaskan. Saya tidak bisa mengatur ego saya, dan saya pikir wajar bagi saya jika saya ingin diprioritaskan, karena saya adalah bagian dari hidup dia, salah satu orang yang dia sayangi dan saya benar-benar merindukan dia.

Dalam 4 hari tersebut, saya juga sempat berkunjung ke rumah saudara ibunya di Cibubur. Dan betapa bahagianya saya, hubungan kami direstui oleh mereka, walaupun kami beda agama. Jujur, perbedaan agama dalam hubungan kami memang sangat menyedihkan, tapi hal ini membuat kami semakin dekat dan kami siap dengan resiko yang sudah kami ambil. Alhamdullilah, selama ini hubungan kami tidak ada halangan apapun dan berjalan dengan baik.

Dan akhirnya tiba hari Minggu tanggal 6 Maret 2011, hari dimana calon suami saya akan kembali ke Bali. Saya bangun jam 3 pagi dan baru tidur sekitar 2 jam. Saya bergegas ke rumahnya di daerah Ciledug, dan mendapati calon suami saya masih tidur karena baru pulang setengah jam sebelum saya datang. Saya bangunkan dia, dan dia segera mandi dan merapikan barang-barangnya yang akan dia bawa pergi ke Bali.

Saya terharu melihat calon suami saya mengenakan seragamnya. Dia sudah sangat pantas mengenakan seragamnya itu, dan benar-benar terlihat gagah. Saya bangga dengan penampilannya, namun mendadak saya sedihnya bukan main, dalam beberapa jam ke depan, dia sudah meninggalkan saya ke Bali. Ya, mental saya cukup hancur pagi itu.

Kami tiba di bandara. Kami berangkat dengan ibunya calon suami saya, ya, calon ibu mertua saya. Kami bertiga sempat ngobrol mengenai keberangkatan, ditemani dengan sarapan pagi kami di bandara. Waktu sudah menunjukan calon suami saya untuk segera berangkat, ia pun berpamitan pada kami. Ia memeluk saya, mencium kening saya dan menghilang dari pandangan saya. Jujur, saya mungkin terlihat serba salah saat itu.

Dan akhirnya saya pulang. Beberapa teman saya menguatkan saya via telpon, sms dan internet. Saya tahan, karena saya masih dalam perjalanan. Dan saya tiba di rumah. Entah kenapa hati saya rasanya berantakan, dan saya berlari ke kamar, duduk di tempat tidur dan menangis.

Hati saya benar-benar hancur. Saya duduk dan mencengkram baju saya. Saya merasa tidak sanggup dan tidak tahan, saya benar-benar rapuh. Kenapa saya harus dipisahkan oleh jarak dan waktu? Ini tidak adil. Rasanya baru 3 hari kemarin sama merasa bahagia dan dekat dengan dia, kenapa sekarang saya sudah tidak bisa merasakan kehadirannya lagi? Saya merasa berlebihan, kenapa saya begitu sedih? Dalam beberapa jam, saya kehilangan kedewasaan saya.

Ada bagian yang saya tidak suka dari hal ini. Komentar orang-orang mengenai jarak diantara kami berdua. Saya tidak suka dengan komentar orang yang mengatakan "Kalian masih satu negara, deket kok itu, masih di Bali ini". Mereka tidak merasakan apa yang saya rasakan, kebanyakan dari mereka mungkin tidak pernah merasakan hubungan jarak jauh. Mungkin mereka hanya merasakan ditinggal sebentar oleh pacar mereka keluar kota atau keluar negeri untuk beberapa hari hari atau minggu, sedangkan saya akan ditinggal selama setahun dan saya, setelah menikah nanti, akan banyak ditinggal oleh suami, karena suami saya adalah seorang pilot. Mereka boleh banyak bicara, tapi jangan yakinkan saya dengan jarak Jakarta-Bali yang mereka bilang dekat. Mereka tidak tahu kondisi kami dan cara komunikasi kami. Tapi saya belajar dari itu semua dan saya jadikan itu sebagai salah satu penyemangat saya. Saya harus bersyukur hanya ditinggal keluar kota dan masih satu negara, banyak orang lain yang ditinggal keluar negeri lebih dari setahun.

Dan akhirnya calon suami saya menelepon. Sekitar 30 menit kami bicara dan selama 30 menit itu saya tidak berhenti menangis. Saya utarakan semuanya, saya capek, saya masih kangen, saya tidak bisa ditinggal dan lain-lain. Dan dengan sabarnya calon suami saya menguatkan saya dan meminta saya untuk berhenti menangis. Saya tidak mau dia berat karena tangisan saya, tapi mau bagaimana lagi? Saya tidak bisa menahan ini sendirian.

Dari kisah saya diatas, saya membuat kesimpulan. Betapa beruntungnya saya mendapat seorang calon suami yang begitu baik dan sabar. Yang mampu menguatkan saya disaat ia juga sesedih saya, yang mau berusaha demi masa depan saya dan dirinya, yang berani mengambil resiko demi masa depannya, tipe pria yang jarang saya temui dalam hidup saya. Dan saya juga mengambil kesimpulan, seorang calon istri penerbang harus memiliki mental yang kuat, harus memiliki kesabaran yang luar biasa kuat. Dan seharusnya saya bangga dengan semua hal itu.

Nama saya Anissa, usia saya 19 tahun dan saya calon istri dari seorang penerbang.
Saya akan menjadi lebih kuat dari sebelumn
ya, karena saya adalah seorang wanita, bukan lagi seorang perempuan. Saya akan terus mensupport pekerjaan calon suami saya, karena itu adalah cita-citanya sejak kecil. Saya akan menaklukan rasa takut saya, saya akan menaklukan kelemahan saya. Saya harus berbahagia, dan tidak boleh memberatkan calon suami saya.


Nama saya Anissa, 19 tahun dan calon istri dari seorang penerbang. Saya siap untuk menjadi wanita dan istri seorang penerbang.

Distance never separates two hearts that really care, for our memories span the miles and in seconds we are there. But whenever I start feeling sad, because I miss you, I remind myself how lucky I am to have someone so special to miss. I love you.