Sunday, October 2, 2011

What A Quite Night To Sing His Favorite Song.


Nama saya Anissa dan calon istri dari seorang calon penerbang.

Calon suami saya bersekolah di suatu sekolah berlokasi di Bali, dimana selain jarak, waktu juga memisahkan kami, waktu di Bali sejam lebih cepat dibanding Jakarta.

Dan saya hancur, dikarenakan jarak dan waktu tersebut.

Semua bermula dari ulangtahun saya beberapa waktu lalu. Dimana saya sudah berusaha menghilangkan segala ekspektasi yang ada dan sampai akhirnya, ekspektasi menghancuran saya.

Dia tidak pulang, dia tidak bisa.

Karena masalah pendidikan, dia diharuskan untuk menetap disana dan tidak boleh pulang hingga waktu yang ditentukan. Saya mencoba maklum dan menerima kenyataan, namun karena ekspektasi saya sudah melewati batas dan memuncak pada malam hari, sekitar 4 jam sebelum pergantian tanggal, keikhlasan saya berubah menjadi kekecewaan.

Saya ingat sekali tahun lalu, dimana dia terus bersama saya sepanjang hari. Dia tidak pernah jauh dari saya dan memberikan semua yang terbaik yang dia bisa. Berbeda sekali dengan sekarang, dimana selama sehari itu saya sendirian. Banyak teman yang menguatkan dan memprovokasi. Saya yang awalnya tidak berharap apapun menjadi semakin berharap, dan juga dikarenakan sugesti saya yang sangat berpengaruh bagi saya, saya semakin kecewa dengan keadaan. Hingga pada puncaknya, kesabaran saya meledak menjadi kekecewaan berupa air mata.

Beberapa hari ke depannya, saya sudah lebih ikhlas dan sudah bisa menerima keadaan. Mau bagaimana lagi, memang sudah tidak bisa diapa-apakan, ya, saya terima.

Dan akhirnya terjadi lagi kejadian yang menyakitkan. Kami kembali berdebat, dimana kami berdua sama-sama meminta pengertian. Saya sadar, perdebatan pengertian seperti ini tidak akan ada habisnya, karena saya, dalam kondisi seperti ini lebih mengutamakan perasaan, sedangkan dia juga mengutamakan logika. Saya mengerti, saya memang harus mengalah pada masalah ini dan harus lebih bisa bersabar. Tapi sampai kapan? Sampai kapan hati saya mampu bertahan?

Saya berat menjalani ini semua. Semua dipendam dalam hati dan saya berusaha untuk tidak memikirkannya karena keadaan seperti ini menyakitkan. Saya benar-benar disiksa oleh jarak dan waktu. Saya dihancurkan oleh keadaan, mental saya terutama. Saya sadar, tidak ada yang bisa menguatkan saya kecuali diri saya sendiri dan Allah SWT. Ditambah lagi dengan masalah beda prinsip di antara kami. Saya sedang berjudi dengan masa depan. Dan parahnya, saya sudah ketakutan terlebih dahulu dengan semua jawaban yang akan ada di masa depan. Saya takut semua tidak berjalan sesuai dengan pengorbanan saya.

Saya benci jarak jauh. Dimana saya butuh figur seseorang yang saya cintai di depan mata, namun dia tidak ada disana. Dimana saya ingin memeluknya, dia terlalu jauh untuk digapai.

Belum lagi manajemen sekolahnya yang cukup mengecewakan saya. Dia tidak akan pulang hingga 3-4 bulan ke depan. Tapi saya harap hal tersebut masih bisa diubah. Jika tidak, keadaan saya akan lebih hancur dibandingkan dengan yang sekarang.

Saya tidak melihat keadaan hanya dari mata saya saja, namun dari mata dia juga. Saya sedih dengan keadaan dia disana, peraturan baru yang diberlakukan cukup memberatkan. Perizinan yang dipersulit, rencana baru tanpa memikirkan kondisi para siswa yang menjadikan mereka seperti hidup di dalam sangkar. Sekolah mereka terletak di ujung pulau Bali, butuh 3 jam lebih untuk mencapai sekolah itu dari Denpasar. Tidak pernahkah terpikirkan oleh pihak sekolah mereka tentang kondisi siswanya? Mereka butuh hiburan, mereka butuh rekreasi, mereka rata-rata masih muda, biarkanlah mereka bernafas lega sedikit. Mereka juga sudah membayar mahal untuk sekolah mereka, berikanlah mereka yang terbaik, jangan dari sisi pendidikan saja, tapi kebutuhan sekunder mereka. Mereka juga punya hak atas itu.

Dari sisi saya, saya mencoba untuk memahami kegiatan dia dan keadaan dia. Tapi sampai kapan saya bisa bertahan? Menomor satukan orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri?

Lagi-lagi saya cuma bisa sabar dan bermain dengan air mata. Saya pikir saya sudah cukup dewasa untuk menerima ini semua, tapi saya tahu, saya adalah dewasa yang masih dalam perkembangan. Orang dewasa pun terkadang bisa menjadi anak kecil lagi, kan?

Nama saya Anissa dan calon istri dari seorang calon penerbang.

Saya bangga dengan kamu dalam meraih cita-citamu, tapi saya tidak bangga dengan diri saya yang tidak bisa menerima kenyataan.

Jika Allah SWT mengizinkan saya,
Dengan segala keterbatasan saya sebagai seorang perempuan,
Saya akan menjadikan hal itu sebagai kelebihan, keberanian dan kekuatan saya.

Saya Anissa, dan saya sanggup.

2 comments:

  1. perjuangan lo masih panjang dan berat kalopun nanti nikah sama dia, jarang ketemu, dan kalo terbang ke bbrp daerah bisa juga susah dihubungin (tp mungkin lbh banyak cara dan lbh mudah sih utk berkomunikasi nantinya). cuma saran, mungkin lo harus pikirkan baik-baik utk kedepannya blm lagi masalah prisip yang beda. ambil positifnya aja, mungkin skrg 'latihan' biar mental tahan banting kalo nanti jadi istri seorang pilot yang pekerjaannya terbang terus. semangat tanteee! :)

    ReplyDelete
  2. I know Cha, been thinking about it... cuma bisa gambling Cha, cuma bisa doa sama Allah "Klo emg jodoh, deketin, klo engga jauhin" dan semoga Allah bisa kasih jalan :) itu semua udah diperhitungin, tp buat dpt jawaban, belom bisa ngejawab Cha... cuma bisa doa dulu dan ngusahain yg terbai. thanks a lot my cousin's girlfriend, longlast ;)

    ReplyDelete

Says